"Kreteeeek...kreteeeek, Pyaaaarrrr !!!"
Wah, apalagi nih, bangun tidur turun ranjang nginjak telur???,
Siapa naruh telur di bawah ranjangku?
"Ngedohke memholo 'Ndhuk...!"
tiba-tiba simbahku sudah muncul di ambang pintu kamarku.
"Bangun 'Ndhuk...!"
"Baru jam dua Mbah, nanti aja setengah empat tahajudnya, biar sekalian subuh..." pintaku dengan masih memejamkan mata
"Nggak 'Ndhuk, kamu mandi dulu. Tadi Simbah sudah minta air dan kembang tuju rupo dari Wong Pinter..."
"Istighfar Mbah, sadar...segera taubat dan mohon ampun..., kok Mbah jadi begini?"
"Habis Simbah kasihan sama kamu 'Ndhuk...", keluh Simbah.
Langsung kutubruk Simbahku yang dengan tiba-tiba sudah penuh dengan linangan air mata.
"Maafin Wening Mbah, Wening nggak bermaksud mengecewakan Mbah, Ibu dan Romo. Ini bukan kehendak kita Mbah. Semua Allah yang ngatur.
****
Lebaran, aku harus pulang kampung. I miss you Yogyakarta...
Hal yang menyenangkan karna harus bertemu keluargaku, setelah penat dengan kebisingan Jakarta, dan hanya ditemani oleh simbahku.
Tapi lebaran juga hari yang mendebarkan.
Aku pasti harus ngadep Romo..., dimarahi lagi..., duuuuh...
***
"'Ndhuk, kamu itu cah mbarep, umur udah 30, adik-adikmu sudah omah-omah, apa kamu nggak pingin, nggak kepikiran?", benar dugaanku, pertanyaan yang sama sudah keluar berapa kali dari bibir Romo setiap aku pulang kampung.
"Romo, mana ada sih orang yang ndak pingin menyempurnakan separuh agama, menjunjung mahligai takwa?."
"Tapi apalagi yang kamu cari, jangan terlalu pilih-pilih 'Ndhuk, ra apik!", tutur Romo dengan lembutnya, namun menyentak dan menggetarkan seluruh sendi tulangku, kelu...
"Yang ini nggak mungkin Romo salah pilih lagi, Romo jamin kamu pasti merubah pendirianmu. Dijamin tokcer 'Ndhuk!!!", senyum Romo, tapi membuat seluruh bulu kudukku menjadi berdiri.
Semua orang sudah membujukku, menggunakan berbagai cara agar aku dapat bergeming dari pilihanku. Ibu, Romo, adikku, bahkan Simbah yang sempat meminta jampi-jampi ke orang pinter segala.
"Besok, putrane Kamas Handoyo yang baru pulang dari Mesir mau kesini. Mau yoo...!", pintanya merayu.
"Pangapunten ndalem Romo, kasih waktu Wening istiharoh ya..."
"Iyo 'Ndhuk, tapi percaya aja sama Romo, orangnya soleh, ngganteng, mapan, baru tamat S2 lho Ning. Poko'e bebet, bobot lan bibit'e pas sama kamu. cocok, kloooop...!"
***
Aku takut, sudah tak bisa dihitung dengan jari orang yang datang ke rumah. Teman kampusku, rekan kantor, dikenalin adikku, anaknya teman Romo. Tapi, selalu aja mereka tak muncul dalam istiharohku.
***
"Kulo mboten saget Romo...", dua mutiara bening meluncur di wajah tirusku yang semakin menua.
Ku tak berani pandang wajah kecewa Romo.
Dari lantaiku bersimpuh dibawah kaki Romo dapat kulihat pantulan wajah yang sudah penuh gurat-gurat keriput dan bermahkotakan uban putih keabu-abuan. Rahang kokoh wajah bijaksana itu menyembul, gemeretak gigi menahan amarah dan kecewa tak dapat disembunyikan.
"Wirang aku Ning. Gimana lagi Romo harus wangsulan sama Kamas Handoyo. Mau taruh mana muka Romo ini. Romo yang sering dapat malu, karna anak perawan Romo selalu begini. Kamu tu Ning, opo nggak malu sudah dilangkahi sama Nimasmu. Kamu itu priyayi Jowo, yang harus bisa njunjung dhuwur mendhem jhero derajat wong tuo. Nggak malah bikin wirang begini!"
"Romo, nyuwun kathahing pangapunthen. Saya nggak bermaksud nyakitin hati Romo. Namun Wening sudah pasti dengan jawaban istiharoh Wening, Romo!"
"Siapa...siapa...? pemuda impian kamu yang nggak pernah tahu tentang kamu itu?"
"'Ndhuk..., ra usah nggolek wirang. Ra sah mikirke wong seng ora welas asih karo kowe 'Ndhuk..., ke-thulho-thulho uripmu mengko..., Romo ra rilo..."
***
Ku tergugu di sajadah panjangkuSembilan tahun ku tak bosan pasrahkan perkara ini pada-Mu, karna ku yakin, jodohku telah Kau tetapkan.
Doa yang sama selalu kulantunkan. Jawaban yang sama juga Kau suguhkan. Kau selalu hadirkan berbagai jawaban dan mimpi yang memupuk keyakinan baja dalam langkahku.
Namun Tuhan, kenyataan yang kuterima beda dengan keyakinanku.
Pemuda saleh itu, tak bergeming dari pendiriannya.
Tak pernah sedetikpun ia berniat menyapaku, membawaku memasuki kehidupannya, mengizinkanku menyertai dakwahnya.
Tuhan..., bila ia tak menghendakiku, kenapa di setiap penghujung sujud panjangku, kau pahatkan namanya di kalbuku.
Untaian rasa ini bukan kehendakku, jangan Kau hina dinakan aku dengannya. Layakkah kusodorkan seonggok hati ini untukmu.
Tuhan..., hanya Kau yang Maha Tahu.Semua terserah pada-Mu, aku begini adanya.
***
"Bunda kok menangis...?"Kutersentak
Bocah kecil yang kulahirkan di ambang masa suburku itu bergelanyut manja di lengan kekar ayahnya.
Pemuda saleh itu...
No comments:
Post a Comment